Selamat Datang di Website Resmi Mohammad Izdiyan Muttaqin

Silahkan pilih artikel, tombol, atau pun informasi yang anda butuhkan. Channel Youtube Izdiyan dapat anda akses melalui link berikut ini

Find Out More

Artikel Pilihan

Perkenalan

Di sini saya menuliskan beberapa hal tentang perkenalan, atau usaha saya mengenal diri sendiri dan mengenalkan diri saya kepada anda.

Read More

Pro Aktif

Pro Aktif adalah kebiasaan pertama dari 7 kebiasaan manusia yang paling efektif.

Read More

Memperbaiki Indonesia

Bagaimanakah cara untuk memperbaiki Indonesia? apakah kita mampu memperbaiki Indonesia?.

Read More

Cara Meningkatkan Keyakinan dan Kepercayaan Diri

Keyakinan diri, atau yang biasa disebut dengan belief, atau iman, adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebagai umat beragama, manusia juga sangat tergantung pada keyakinanny.

Read More

Recent Work

27 Nov 2012

Bagaimana Caranya Kuliah di al-Azhar Kairo?

Bagaimana Caranya Kuliah di al-Azhar Kairo?

saya di depan gerbang al-azhar pada tahun pertama saya di kairo
Bagaimana cara kuliah di al-Azhar Kairo? Perlu diketahui ada dua jalur untuk bisa kuliah di al-Azhar. Yang pertama lewat jalur non beasiswa yang dibuka Depag, dan yang kedua lewat jalur beasiswa yang biasanya dikoordinir oleh Kedutaan Mesir sendiri, yang bisa dihubungi di sini
Kalau menurut pengalaman pribadi saya sendiri, yang tidak lulus ujian beasiswa dan akhirnya berangkat dengan jalur non beasiswa, ada beberapa langkah yang bisa anda lakukan untuk bisa sekolah di Al-Azhar Kairo (Mesir) di antaranya:

1. Pelajarilah Bahasa Arab  
Karena Bahasa Arab adalah syarat mutlak untuk bisa ikut ujian seleksi al-Azhar. Kemampuan komunikasi aktif menurut saya tidak terlalu mendesak, walaupun perlu juga, akan tetapi ujian masuk al-Azhar di Indonesia dan selanjutnya kegiatan belajar di al-Azhar sangat tergantung pada kemampuan komunikasi Bahasa Arab kita. Standar simpelnya, anda harus siap untuk mengarang sendiri dalam Bahasa Arab tentang beberapa topik yang sederhana seperti: belajar, berbuat baik, dsb. Tentu bagi anda yang sudah belajar beberapa tahun di Pondok hal ini bukan hal yang sulit, dan bagi anda yang belum mencapai tingkat ini, silakan perdalam kemampuan anda.

2. Persiapkan Hafalan Qur'an Anda
Hafalan Qur'an juz 1-2 biasanya diujikan dalam ujian masuk al-Azhar yang diadakan Depag.

3. Banyak-Banyak Berdo'a
Banyak berdoa akan memperkuat tekad kita untuk bisa masuk Universitas al-Azhar. Banyak sekali jumlah santri maupun pelajar yang ingin belajar di al-Azhar Kairo, namun kuota yang diberikan al-Azhar tidaklah banyak. Karena itu ujian untuk bisa sekolah di al-Azhar sebenarnya merupakan ujian yang ketat untuk memperebutkan kursi yang terbatas jumlahnya. Selain nasib memang ditentukan oleh Yang di Atas, berdo'a akan membuat kita lebih tenang dan pasrah dalam menjalani ujian dan kemudian menerima hasil ujian kita apa pun hasilnya nanti, karena Allah lebih tahu jalan mana yang lebih baik untuk kita.

4. Jangan Pernah Ketinggalan Berita 
Jangan pernah lupa untuk selalu bertanya kepada kawan yang lebih tahu tentang pembukaan pendaftaran ujian oleh Departemen Agama, maupun oleh Kedutaan Mesir di Jakarta. Informasi bisa anda dapatkan di website resmi Departemen Agama, www.ditpertais.net atau http://pendis.kemenag.go.id/timteng12/index.php
kalau masih bingung anda bisa menghubungi Direktorat Pendidikan Tinggi Islam yang tercantum di bagian bawah website ditpertais. Yang kurang lebih tulisannya sebagai berikut: DIREKTORAT PENDIDIKAN TINGGI ISLAM 
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM KEMENTERIAN AGAMA RI

Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3 - 4 Lt. 8 Jakarta Pusat
Telp. 021-3853449, 3812344, 3519734
Fax. 021- 34833981


5. Persiapkan dan Masukkan Berkas-Berkas Anda
Berkas yang diperlukan setiap tahun sangat sederhana, selain bisa dilihat di website resmi untuk info terbarunya. Yang penting adalah
1. foto 3x4
2. fotokopi ijazah,
3. formulir pendaftaran yang sudah diisi

6. Cari Informasi Tentang Travel
Kalau anda sudah berhasil lulus, anda bisa mulai mencari tahu tentang Travel yang akan membimbing anda mulai dari pembelian tiket pesawat sampai dengan mendapatkan tempat tinggal di Mesir. Ini bisa anda cari di internet atau dari kawan-kawan anda, ada beberapa pilihan, kami alumni Gontor beberapa angkatan belakangan dikoordinasi oleh Ust. Maulana Darsono, oh iya, biaya travel beragam, antara 9-15 juta rupiah. Bagi anda yang kurang mampu jangan khawatir, karena Pemda-pemda saat ini sangat terbuka dengan permohonan dana untuk pendidikan, bisa dilihat di sini

Demikian sedikit informasi dari saya, kalau anda bersungguh-sungguh,
insya Allah anda bisa kuliah di al-Azhar, semoga berhasil......

26 Nov 2012

Bagaimana Cara Membaca Masa Depan

Bagaimana Cara Membaca Masa Depan

Jam terbesar di Planet Bumi, Mekkah

Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah artikel yang di-Share oleh kakak kelas di wallnya. Sebuah artikel yang sangat menginspirasi. Artikel ini aslinya ditulis oleh seorang alumni yang kini menjadi seorang pimpinan pondok di salah satu pondok alumni. Beliau menuliskan betapa kharismatiknya sosok Pak Zar kala beliau santri dulu. Pak Zarkasyi selalu menyediakan waktunya untuk mengelilingi kelas di waktu efektif belajar. Bila ada kelas yang kosong, beliau lantas masuk dan mengajar di kelas tersebut. Apabila kelas sebelah ribut dan tidak ada pengajarnya, beliau lantas menaruh kopiahnya di meja, kemudian bergerak menuju kelas yang berisik tersebut. Keberadaan kopiah beliau sudah membuat para santri takut dan tidak beranjak dari tempat duduk mereka. Saat sore menjelang Pak Zar dengan kaos oblongnya keliling melihat keadaan kelas. Apabila terdapat meja yang sudah miring, beliau membenarkan sendiri meja tersebut. Apabila ada pintu yang rusak, beliau juga yang dengan sabarnya mengencangkan pintu tersebut.

    Bagian yang paling disorot dari artikel tersebut oleh sang penulis adalah saat beliau berjalan melewati secarik sobekan Koran. Saat itu Pak Zarkasyi yang kebetulan ada di dekatnya menyuruh beliau untuk mengambil kertas tersebut. Bukan untuk dibuang, namun Pak Zar menyuruh sang penulis untuk membacanya terlebih dahulu, dan tidak hanya itu, Pak Zar kemudian menanyakan tentang apa yang terkandung di secarik potongan Koran tersebut.
               
  Kalau kita pikirkan, mengapa harus dibaca, padahal Koran itu bukan Koran terbaru, melainkan hanya Koran bekas yang mungkin bagi kita sudah tidak ada nilainya lagi. Namun yang perlu kita hayati adalah bagaimana Pak Zarkasyi menghormati ilmu dan menyemangati santrinya untuk membaca, dalam keadaan apa pun.

                  Dalam kesempatan ini saya juga ingin sekali berbagi ide saya tentang keajaiban membaca. “Bacalah!” itulah kata pertama yang Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Bukanlah suatu kesia-siaan menyuruh Rasulullah SAW untuk membaca walaupun beliau saat itu memang jelas-jelas tidak bisa membaca. Namun Allah SWT ketika itu menyuruh NabiNya untuk membaca al-Qur’an, yang diturunkan kepada hambaNya dalam bentuk “audiobook”. Dan membaca audiobook tidak memerlukan kemampuan baca tulis, namun memerlukan kemampuan listening Bahasa Arab yang sudah sangat dikuasai Nabi Muhammad SAW.

  Menarik sekali, pada abad keenam masehi, di mana buku belum banyak beredar, di mana mesin cetak bahkan belum ditemukan, Allah SWT telah membawa ke zaman itu sebuah teknologi masa depan, buku audio bernama al-Qur’an. Yang mengandung informasi-informasi kunci untuk hidup bahagia di dunia dan akhirat. Audiobook sendiri, baru mulai diproduksi di New York sekitar tahun 50an. Dan mulai diproduksi masal dalam bentuk kaset sekitar tahun 1970-1980. Namun umat islam sudah menjaga sebuah audiobook bertitelkan al-Qur’an berabad-abad yang lalu. Saya anggap ini merupakan satu lagi keajaiban al-Qur’an yang berbeda dengan kita kitab-kitab terdahulu yang turun dalam bentuk buku biasa, al-Qur’an diturunkan dalam bentuk buku audio.

                   Setelah terjadinya revolusi industry pada sekitar tahun 1780-1830 umat manusia mulai beranjak dari masyarakat yang sebelumnya agraris menuju masyarakat industri setelah ditemukannya mesin uap dan mesin-mesin lainnya yang mampu memproduksi berbagai barang dalam jumlah massal. Maka lahan-lahan pertanian tidak lagi menjadi satu-satunya sumber kekayaan. Manusia tidak lagi terbatas dalam dua kelas, pemilik tanah tan buruh tani. Namun umat manusia kemudian menemukan bahwa kreatifitas mereka dalam memproduksi barang benar-benar membuat dunia menjadi lebih nyaman dan penuh dengan peluang. Maka dari situ dimulailah era baru dalam kisah perjalanan umat manusia. Era industri. Sebuah era di mana kekuatan suatu komunitas atau seseorang dinilai dari kemampuan mereka memproduksi. Di era ini orang-orang terkaya di dunia mengumpulkan kekayaan mereka melalui produk-produk seperti mobil, minyak, besi, sampai produksi kereta api.

        Lalu pada tahun 1989 world wide web atau yang biasa disingkat dengan WWW ditemukan. Saat itulah umat manusia sekali lagi berada pada pintu gerbang era baru, era yang disebut-sebut sebagai era informasi. Pada era informasi ini barang-barang dan hasil produksi tidak lagi menjadi tolak ukur. Namun sistem, pengalaman, informasi, dan efisiensi yang menjadi ukuran utama. Sampai saat ini kita bisa melihat daftar orang terkaya dunia 3 besarnya diisi oleh Carlos Slim Helu seorang pengusaha bidang telekomunikasi, Bill Gates yang sudah sangat dikenal dengan Microsoftnya yang bergerak di bidang sistem computer. Lalu disusul oleh Warren Buffet yang selain seorang pakar dalam memilih saham juga merupakan pengusaha di bidang jasa dan asuransi.

Dalam era informasi ini bukan barang dan produksi, tapi apa yang ada dalam kepala kitalah yang menentukan nilai kita. Manusia memang sama dalam bentuk dan organnya. Namun manusia sangat berbeda dalam kemampuan. Apakah yang sebenarnya membuat manusia begitu berbeda? Bagaimana sebagian orang begitu superior dan mendominasi namun yang lain hanya terpojok lemah, menonton, diatur, dan kadang ditindas?

Mari kita kembali kepada al-Qur’an yang memuat hukum-hukum Allah yang pasti dan tidak berubah. Dalam surat an-Najm ayat 19, وأن ليس للمرء إلا ما سعى وأن سعيه سوف يرى. Ayat ini menjelaskan dengan gamblang kepada kita bahwa manusia hanya akan memiliki apa yang diusahakannya. Dan sesungguhnya hasil usahanya itulah yang akan dia saksikan terjadi pada dirinya.

                Setelah kita membaca ayat ini, mari kita kembali kepada judul tulisan ini: “Membaca Masa Depan”. Ayat ini menurut saya, merupakan suatu alat yang Allah berikan kepada kita untuk membaca masa depan. Menarik bukan, Allah Maha Adil. Allah memberikan semua makhluknya tanpa terkecuali hasil usaha dari apa yang telah diusahakan.

        Mari kita pakai metode membaca masa depan ini dengan melihat mundur ke masa kenabian Rasulullah SAW, dan masa-masa khilafah islamiyah. Saat itu Rasulullah SAW mengomandokan kepada Umatnya “Keluarkanlah orang kafir dari Jazirah Arab”. Kata ini yang kemudian dijadikan awal dari usaha terus menerus umat islam menyebarkan Risalah Islam keseluruh daratan Jazirah Arab. Segala usaha yang dilakukan dengan pengorbanan berupa harta, tenaga, sampai nyawa berbuah dengan penaklukan-penaklukan yang berjalan begitu pasti di seluruh daratan Jazirah Arab. Jihad fi Sabilillah yang menjadi salah satu pondasi awal berdirinya Negara Islam pada masa Rasulullah dijalankan terus pada masa Khulafaurrasyidin dan Daulah Umayyah, usaha yang terus menerus ini membuat kita dengan mudah bisa membaca bahwa Islam nantinya akan masuk Benua Afrika, masuk juga ke Benua Eropa, dan tidak terelakkan lagi, juga Benua Asia. Dan itu benar-benar terjadi. Pada masa Umar bin Khattab Islam berhasil memasuki wilayah Benua Afrika melalui Mesir. Pada masa Daulah Umayyah Islam berhasil masuk ke Benua Eropa melalui wilayah barat lewat Spanyol dan Portugal kemudian melalui wilayah timur pada masa Utsman bin Affan melalui Azerbaijan. Dan Islam masuk wilayah China pada akhir masa Utsman bin Affan.

Belajar sejarah memang menarik, saya sebagai seorang mahasiswa jurusan sejarah ingin sekali berbagi tentang bagaimana proses kebangkitan peradaban Benua Eropa. Setelah pecahnya kerajaan Daulah Umayyah menjadi kerajaan-kerajaan kecil dan juga berhasil dikeluarkannya umat islam dari Benua Eropa di bawah pimpinan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Beberapa lama setelah itu Bangsa Eropa, khususnya Eropa Barat memfokuskan segala usahanya untuk menguasai ilmu pelayaran, baik itu ilmu geografi, ilmu navigasi, ilmu membaca bintang, hingga ilmu memproduksi kapal secara massal. Bahkan didirikan pula universitas khusus untuk ilmu pelayaran dan kelautan. Akhirnya dalam beberapa abad kemudian Bangsa Eropa Barat berhasil mengadakan ekspedisi-ekspedisi ke wilayah Afrika, Amerika, India, hingga Indonesia, dan selanjutnya menggantikan dominasi Eropa Timur yang terkenal dengan Kerajaan Romawinya, dan juga menggantikan Turki Usmani yang terkenal dengan Daulah Utsmaniyyahnya.

                Membaca masa depan adalah salah satu tugas para pemimpin. Dan semua itu bisa dilakukan oleh setiap orang karena Allah sendiri yang menyuruh kita dalam surat al-hasyr, “Hendaklah setiap jiwa melihat, apa yang dia kerjakan untuk esok harinya”. Ya, kita bisa membaca masa depan kita, dengan melihat apa yang kita kerjakan saat ini. Mari kita gunakan sebuah “how to” dari Allah ini, untuk membaca masa depan. Masa depan islam, masa depan Indonesia, dan masa depan kita sendiri.

Sejarah Al-Azhar Part III

Sejarah Al-Azhar Part III

al-Azhar dari atas, menara-menaranya yang beragam bentuk adalah peninggalan setiap zaman yang telah dilalui masjid legendaris ini, arsitektur al-Azhar adalah kombinasi dari berbagai aroma, Fathimiy, Ayyubi, Mamluki, Usmani, dan Mesir Modern

Al-AZHAR DI MASA DAULAH MAMLUKIYYAH

                Daulah mamlukiyyah terbagi dalam dua periode:
  1. Periode Daulah Mamalik Bahriyyah dari tahun 657 H dan berakhir pada 784 H/1382 M
  2. Periode Daulah Mamalik Syaraksah dari tahun 784 H-923 H/1382 M-1517 M

             Lucu dan agak menarik kalau kita melihat sejarah Daulah Mamlukiyyah. Sejarah ternyata bisa berubah begitu drastis. Daulah Ayyubiyah yang pada awalnya didukung dan diperkuat oleh budak-budak belian dari negeri Turki dan sekitarnya akhirnya bisa berbalik dikuasai dan diperintah budak-budak beliannya sendiri. Ya memang demikian adanya, mamluk adalah sebutan budak dalam Bahasa Arab yang menandakan bahwa Daulah Mamlukiyyah adalah masa yang saya sebut sebagai puncak prestasi dari para budak. Sebuah contoh nyata yang dicatat oleh sejarah bahwa dalam islam, dan pada dunia nyata pada umumnya, seorang budak pun boleh memimpin manakala dia sanggup dan pantas untuk itu. Sebuah perwujudan kebenaran ayat Allah “Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki”.

Pada awalnya sebenarnya Daulah ini terbentuk pada tahun 648 H. Rajanya yang pertama bernama ‘Izzuddin Aybak At-Turkmeni yang menikah dengan Syajarotu ad-Daar, mantan istri Turonsyah (Raja Daulah Ayyubiyyah yang terakhir). Sultan ‘Izzuddin kemudian terbunuh pada tahun 655 H dan digantikan oleh anaknya al-Manshur yang masih kecil dan kemudian kekuasaannya diserahkan kepada Saifuddin Qothz. Kemudian pada tahun 657 H Saifuddin Qothz mengumumkan kekuasaannya dan mencopot al-Manshur dari kekuasaan. Dan dialah yang dianggap sebagai pendiri yang sebenarnya dari Daulah Mamlukiyyah.

              Di masa Qothz inilah Daulah Abbasyiyyah kehilangan wibawanya di tangan Pasukan Mongol, pada tahun 656 H Baghdad akhirnya ditaklukkan. Jatuhnya Baghdad di tangan Mongol membuat dunia keilmuwan islam di kota seribu satu malam itu tenggelam. Para Ulama dan Pakar-pakar islam yang berhasil menyelamatkan diri pun hijrah mencari tempat berlindung dari serangan Mongol yang beringas itu. Pasukan mongol pun bergerak ke arah barat menuju Mesir. Namun hebatnya Daulah Mamlukiyah saat itu tidak mampu ditembus oleh Pasukan Mongol. Pasukan yang terkenal ganas ini pun takhluk dalam pertempuran dengan Pasukan Daulah Mamlukiyah yang ketika itu berada di bawah pimpinan Saifuddin Qothz, perang itu terjadi di ‘Ain Jalut, Palestina. Kemenangan Daulah Mamlukiyah yang berpusat di Kairo ini lantas menjadi kabar gembira bagi para ulama dan pelajar. Berbondong-bondong pakar Bahasa Arab, fiqih, Hadits, dan beragam cabang ilmu lainnya datang ke Ibu Kota Daulah Mamlukiyah mencari naungan yang aman untuk berteduh dan mengembangkan keilmuwannya. Masjid al-Azhar pun resmi dibuka kembali untuk shalat jum’at pada masa kepemimpinan Raja az-Zhohir Baybers, dan peran vitalnya dalam bidang pendidikan pun kembali diaktifkan.

                Gerakan sastra dan keilmuan mencapai masa kejayaan pada akhir abad ke delapan sampai awal abad kesembilan Hijriyah. Al-Azhar pada saat itu telah menjadi ka’bah keilmuan islam pada masa itu. Ulama-ulama dan para asatidz mewarnai al-Azhar yang didatangi oleh pelajar baik lokal maupun mancanegara. Kebesaran al-Azhar tergambar dari jumlah siswa dan alumninya yang begitu banyak. Fasilitas-fasilitas pun semakin dilengkapi untuk memudahkan para pelajar yang datang dalam jumlah cukup besar. Maka semakin besarlah jumlah halaqoh-halaqoh di Masjid al-Azhar, semakin beragam pula bidang-bidang kajian yang ditekuni. Dan al-Azhar semakin mengokohkan posisinya yang tidak terbantahkan sebagai Ka’bah para ilmuwan dan pelajar muslim di Dunia Islam secara keseluruhan.

                Maka sejak abad ke delapan Hijriyah, di bawah naungan Daulah Mamlukiyah  al-Azhar seolah memegang tampuk kepemimpinan keilmuan, pemikiran, dan peradaban di Dunia Islam. Terhitung sejak jatuhnya Baghdad sampai saat ini, terutama setelah runtuhnya peradaban islam di Andalus.

               Di masa Daulah Mamlukiyah inilah Para Ulama hidup makmur dan mendapat wibawa dan kemuliaan yang layak dari para penguasa. Wibawa para ulama begitu terasa sampai mampu mempengaruhi para penguasa pada saat itu. Masa-masa ini disebut-sebut sebagai masa keemasan al-Azhar. Di mana Al-Azhar mencapai puncak kebesarannya melampaui seluruh masa sebelumnya. Siswa berdatangan dari berbagai penjuru dunia, proses belajar mengajar berlangsung ramai, dan Masjid al-Azhar pun mendapatkan perhatian penuh dari penguasa dengan mengadakan berbagai renovasi.

               Diantara Ulama Besar yang muncul di masa ini adalah Syekh ibn ‘Abdu as-Salam Syeikhul Islam seorang alim yang sangat dihormati kala itu, Syekh ‘Izzuddin dari Damaskus juga pernah singgah di Mesir pada periode ini dan menjadi tamu kehormatan di Mesir ketika itu. Ada pula Syekh Jalaluddin as-Sayuthi yang juga memiliki banyak karya-karya penting di berbagai bidang keilmuwan terutama dalam Kaidah-kaidah Bahasa Arab.

          AL-AZHAR DI MASA DAULAH USMANIYAH
                Mesir jatuh ke dalam genggaman Daulah Usmaniyyah pada tahun 923 H yang bertepatan dengan tahun 1512 Masehi. Mesir pun kehilangan kemerdekaannya. Dan al-Azhar dengan pelan tapi pasti mulai memasuki masa kemunduran. Daulah Usmaniyah berhasil memadamkan sinar keilmuwan al-Azhar dan juga kekuatan karakter Mesir pada umumnya dengan membawa buku-buku keilmuwan yang ada di Mesir ke Konstantinopel, ibu kota dari Daulah Usmaniyah. Tidak cukup sampai di situ, bahkan para Ulama yang menonjol di al-Azhar dan di Mesir pada umumnya juga diboyong ke Turki. Maka al-Azhar dan dunia keilmuwannya dengan segala aktifitas akademisnya pun menjadi lesu dan mati suri, seperti raga yang sudah diambil ruhnya.

                Dunia tulis menulis pun ikut mengalami penurunan bersamaan dengan menurunnya alam keilmuwan di al-Azhar. Sedikitnya ulama yang mumpuni di kala itu, dan sedikitnya jumlah buku ilmiah yang tersisa di Mesir, membuat para pengarang kehabisan ide untuk menulis. Alhasil para ilmuwan terpaksa melakukan pengkajian dan menulis buku tentang keterangan-keterangan atau penjelasan-penjelasan daripada karya-karya lama yang sudah ada. Dan lucunya, penjelasan buku-buku lama ini pun dijelaskan kembali oleh ilmuwan yang lainnya, kemudian dijelaskan lagi oleh ilmuwan setelahnya, maka jadilah buku itu buku penjelasan dari penjelasan dari penjelasan. Sebuah keadaan yang menggambarkan betapa stagnansi dan kemonotonan begitu kuat menyelimuti dunia keilmuwan al-Azhar di masa ini.

                Dan lagi-lagi ini disebabkan hijrahnya para ulama-ulama ke Konstantinopel. Pemerintah Turki Usmani juga memindahkan buku-buku yang terdapat di masjid-masjid, madrasah-madrasah yang ada di Mesir, dan membawa semua harta keilmuwan itu ke perpustakaan Ibu Kota di Turki. Dan buku-buku berharga itu tetap berada di Istambul bahkan sampai hari ini, di antaranya buku asli tulisan tangan karya para ulama populer semisal al-Maqrizi, as-Sayuti, as-Sakhowi, ibn Iyyas, yang tidak dikembalikan lagi kepada Mesir sebagai pemilik aslinya.

                Akan tetapi al-Azhar sebagai institusi dan lembaga pendidikan tidak berhenti memainkan peranannya yang penting. Para pelajar tetap saja berdatangan dari berbagai daerah. Al-Azhar pun menjadi tempat berkonsultasi dari para penguasa di kala mereka menghadapi masalah dengan penduduk asli.

                Pada akhirnya al-Azhar memainkan peranan penting sebagai penjaga peradaban umat islam dan warisan leluhurnya berupa ilmu pengetahuan keislaman dan yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga Bahasa Arab dari kerusakan dan menjaganya agar tetap menjadi Bahasa Resmi dan Bahasa Utama di seluruh bumi Mesir. Walaupun di kala itu Bahasa Turki “sang penakluk” sedikit demi sedikit ikut meresap ke dalam masyarakat, namun al-Azhar tetap berhasil membuat Bahasa Arab tetap terjaga keasliannya, dan menjaga tradisi penggunaan Bahasa Fusha dalam khotbah-khotbah jum’at dan sebagai bahasa pengantar dalam setiap pengajaran dan perkuliahan. Inilah manfaat besar yang masih bisa kita rasakan sampai sekarang sebagai wujud nyata dari peran penting al-Azhar. Demikianlah al-Azhar berhasil bertahan dan mempertahankan warisan keilmuwan umat islam di masa-masa kegelapan yang sulit tersebut.

                     Para siswa juga cukup banyak yang belajar di al-Azhar. Mereka saat itu belajar dan tinggal di “arwiqoh” jama’nya “ruwwaq”, atau ruangan-ruangan yang di dalamnya terdapat kotak-kotak dan lemari tempat menyimpan peralatan, pakaian, dan buku-buku mereka. Mereka tinggal di dalamnya dan mengikuti pelajaran setiap harinya. Kebanyakan arwiqoh-arwiqoh ini dinamakan sesuai dengan nama daerah para siswa, ada aruqoh al-fayumi, at-Turkiy, bahkan al-jawi yang dimaksudkan dengan siswa dari nusantara dan sekitarnya.
Muncul pula pada masa ini sejumlah besar Ulama, Penyair, dan sastrawan. Diantaranya Syihab al-Khofaji yang meninggal tahun 1069 H, al-Badi’I yang meninggal tahun 1073 H, Abdul Qodir al-Baghdadi yang meninggal tahun 1093 H penulis Khizanatul Adab, dan Sayyid al-Murtadho az-Zubaidy (1145-1205 H) penulis Taj al-‘arus, dan as-Shibyan yang meninggal tahun 1206 H.

                      Diantaranya juga al-Muhibbiy (1061-1111 H) penulis Khulasoh al-Asar fi al-Qorni al-Hadi ‘asyar, as-Sya’rowi sang sufi yang meninggal tahun 973 H, dan Abdullah as-Syabrowi yang meninggal tahun 1172 H, dan ulama-ulama lainnya yang pengaruh dan kary-karyanya mempengaruhi dunia keilmuan di al-Azhar kala itu.
Di masa ini terjadi juga persaingan ketat antar mazhab-mazhab fiqih, yang berakhir dengan dominasi mazhab syafi'i di atas mazhab-mazhab lainnya. Meskipun sampai sekarang keempat mazhab diajarkan di Al-Azhar, namun Masyikhot al-Azhar (Syekh yang memegang kepemimpinan tertinggi al-Azhar) tetap dari kalangan mazhab syafi’i.

                      Al-Azhar sendiri sebenarnya tidak memiliki Syekh sejak pertama dibangun sampai sekitar penghujung abad ke sepuluh hijriyah. Dan kepemimpinan kala itu dipegang oleh para tokoh masyarakat atau pemimpin dari pemerintahan yang selalu meluangkan perhatiannya kepada al-Azhar. Akhirnya pada abad ke sebelas dibuatlah Masyikhot al-Azhar (Syekh yang memegang kepemimpinan tertinggi al-Azhar). Yang disebut-sebut bahwa Syekh al-Azhar dianggap sebagai Syekhul Islam atau pemimpin agama islam di seluruh negeri. Syekh al-Azhar mengatur administrasi di al-Azhar, dan mengurus urusan-urusan penduduknya, menengahi perselisihan antar warganya, serta menentukan gaji mereka.
Yang pertama kali menjadi Syekh al-Azhar adalah al-Imam Muhammad ‘Abdullah al-Khorsyi al-Maliki yang telah berpulang ke rahmatullah tahun 1101 H, setelahnya ada Syekh Muhammad an-Nasyarti yang meninggal tahun 1120 H, setelah ada Syekh Abdul Baqi al-Maliki al-Qolini, dan seterusnya.



Sejarah Al-Azhar Part II

Sejarah Al-Azhar Part II

di depan Babul Futuh, Salah satu peninggalan Daulah Fathimiyyah








































Masjid al-Azhar sengaja dibangun sebagai pondasi dari sebuah peradaban baru. Daulah Fathimiyah yang merupakan Daulah Islam yang berbasis Syi’ah sangat paham bahwa sebuah Kerajaan yang kokoh haruslah berdiri di atas pondasi peradaban yang bertumpu kepada masjid sebagai pusat keilmuan, pusat kebudayaan, dan pusat komunikasi yang dari situ tersebarlah pengaruh dan kebesasarn suatu Daulah atau Negara.

                Maka pengaruh syi’ah pun ditebarkan di Masjid al-Azhar, para khotib dari Daulah Abbasyiah diberhentikan, Daulah fathimiyah juga melarang pemakaian baju hitam yang merupakan lambang Daulah Abbasyiah dan menyuruh rakyatnya memakai baju putih simbol Daulah Fathimiyah. Azan di seluruh masjid ditambahkan dengan kata-kata “hayya ‘ala khoirul ‘amal”, dan khutbah jum’at diperpanjang dengan shalawat-shalawat khas syi’ah yang diperuntukkan kepada Sayyidina ‘Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husen, dan Sayyidah Fathimah az-Zahro’. Maka dengan demikian berakhirlah hegemoni Daulah Abbasyiah di Mesir, Hijaz, Syam, dan sekitarnya.

                Masjid al-Azhar lantas menjadi pusat keilmuan di masa Daulah Fathimiyah setelah dua masjid besar lainnya, Masjid Amr bin ‘Ash dan Masjid ibn Tolun. Dan menduduki tempat yang terhormat di Dunia Islam saat itu. Sebagai simbol peradaban Syi’ah yang terpandang dan menjadi pusat penyebaran islam khususnya mazhab syi’ah yang menjadi tempat berkunjung para pencari ilmu dari berbagai daerah.

              Masjid al-Azhar juga digunakan sebagai tempat berlangsungnya perkumpulan-perkumpulan penting di masa itu. Baik perkumpulan antara para pembesar Daulah Fathimiyah, maupun perkumpulan antara para Ulama Kerajaan. Perayaan-perayaan hari besar islam pun dilakukan di Masjid al-Azhar sebagai pusat kegiatan masyarakat muslim saat itu.

                Masjid al-Azhar berkembang menjadi institusi pendidikan sedikit demi sedikit. Bersamaan dengan berkembangnya aktifitas pengajaran di Masjid ini yang sebenarnya sudah dimulai dari masa-masa awal berdirinya Masjid al-Azhar. Pada Masa Mu’iz li dinillah, seorang Hakim kepala kerajaan yang bernama Abu Hasan Ali bin Nu’man memulai proses belajar mengajar dengan membacakan buku ringkasan fiqih syi’ah karya ayahnya. Kelas pertama ini dihadiri oleh sekumpulan ulama dan pembesar-pembesar Daulah Fathimiyah. Dan sekumpulan siswa ini akhirnya ditetapkan sebagai murid-murid pertama di Universitas al-Azhar.

                Ya’qub bin Kalis, seorang menteri pada masa kepemimpinan Mu’iz li dinillah dianggap sebagai pelopor pertama yang mencetuskan Masjid al-Azhar sebagai Universitas yang mengajarkan keilmuan dengan jenjang yang terstruktur.

                Ya’qub bin Kalis meminta izin kepada Khalifah Mu’iz li dinillah untuk menugaskan beberapa ulama dan fuqoha untuk menjadi tenaga pengajar tetap di al-Azhar. Disiapkan juga bantuan finansial dari pemerintah yang cukup untuk mereka, dan tidak lupa dibangunkan tempat tempat tinggal yang layak tidak jauh dari Masjid al-Azhar.

                Al-Azhar  mendapat tantangan dari institusi lain pada masa Khalifah al-Hakim. Di mana Sang Khalifah mendirikan Dar el-Hikmah. Tetapi masing-masing institusi memiliki risalah yang berbeda. Di mana al-Azhar terkonsentrasi pada pengajaran agama islam, sedangkan Dar el-Hikmah disamping menyebarkan Mazhab Syi’ah juga mengajarkan berbagai bidang keilmuan lainnya, seperti Bahasa Arab, Falsafah, Matematika, Kedokteran, dan sebagainya.

AL-AZHAR DI MASA DAULAH AYYUBIYAH

                Benarlah pepatah arab yang berbunyi: “laa syai’a illa lahu afah, wa laa syai’a illa lahu muntaha”. Segala sesuatu pasti memiliki cacat, dan segala sesuatu pasti memiliki akhir. Demikian pula dengan Daulah Fathimiyyah yang akhirnya harus mengakhiri dominasinya di Bumi Kinanah. Maka runtuhlah sebuah aktor besar dalam kancah sejarah Dunia Islam, sebuah Dinasti raksasa yang pernah menaklukkan Pulau Sicily di Itali, seluruh Negeri-negeri  Afrika Utara, Syam, Hijaz (mekah dan madinah), bahkan sampai Yaman dengan Kairo sebagai ibu kotanya ini pun tenggelam bersamaan dengan terbitnya era baru, Daulah Ayyubiyah.

                Didirikan di Mesir Tahun 567 Hijriyah atau sekitar 1170 Masehi oleh pendirinya: Sultan Sholahuddin Yusuf bin Ayyub yang lebih terkenal dengan sebutan Sholahuddin al-Ayyubi. Dialah yang berhasil menenggelamkan Daulah Fathimiyyah dan akhirnya membangun Daulah baru dalam pentas politik Dunia Islam saat itu. Namanya menjadi begitu populer di seluruh Dunia Islam menyusul kesuksesannya memimpin Pasukan Islam menghajar Pasukan Sekutu Negara-Negara Eropa dalam perang salib dan akhirnya memukul mundur Pasukan Salib dari wilayah islam. Kepopulerannya bahkan mengalahkan popularitas Pemerintahan Daulah Fathimiyyah. Dan akhirnya dengan mudah Sholahuddin Yusuf bin Ayyub mendapat kepercayaan rakyat untuk membangun sebuah dinasti baru yang akhirnya dinamakan Daulah Ayyubiyyah.

                Maka Sultan Sholahuddin yang beraliran murni sunni dan bermazhab syafi’i pun mengakhiri penyebaran dan doktrin-doktrin dan ajaran Syi’ah di seluruh wilayah kekuasaannya. Masjid al-Azhar pun disegel terlarang untuk khotbah jum’at. Maka jadilah Masjid Besar ini kosong dari sholat jum’at selama hampir satu abad lamanya (567-663 H).     

                Gerakan pendidikan di masa Daulah Ayyubiyah ditandai dengan didirikannya berbagai madrasah di Mesir, Sultan Shalahuddin al-Ayubi hendak mengikuti langkah Raja Zenki di Syam yang mendirikan banyak madrasah di daerah Syam dan helb. Madrasah pertama yang dibangun Daulah Ayubiyah di Mesir adalah Madrasah Nashiriyah, yang terletak bersebelahan dengan Masjid Amr bin ‘Ash. Sultan juga membangun beberapa madrasah yang di dalamnya diajarkan berbagai madzhab fiqih, baik itu Syafi’I, Maliki, maupun Hanbali. Gerakan pembangunan madrasah ini adalah sebuah bentuk usaha pemadaman sinar al-Azhar dan untuk menarik perhatian ulama dan para pelajar dan mengalihkan mereka dari baying-bayang al-Azhar. Gerakan pembangunan madrasah ini pun diikuti oleh penguasa-penguasa setelahnya baik dari Daulah Ayyubiyah, maupun era selanjutnya yaitu Daulah Mamlukiyah.

               Namun berakhirnya masa kepemimpinan Daulah Fathimiyah dan dilarangnya Khotbah Jum’at di Masjid ini pada masa Daulah Ayubiyah tidak menghentikan proses belajar mengajar di Masjid al-Azhar. Masjid al-Azhar tetap menjadi tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Tercatat beberapa ulama besar dilahirkan di masa transisi itu, salah satunya Abdul Lathif al-Bagdadi yang merantau ke Mesir dan  yang akhirnya menjadi ulama yang mendapat kehormatan mengajar di al-Azhar pada masa Raja al-Aziz, putra Shalahuddin al-Ayubi.

Sejarah Al-Azhar Part I

Sejarah Al-Azhar Part I


wilayah kekuasaan Daulah Fathimiyyah (google)
                 MASJID AGUNG KETIGA SETELAH DUA MASJID HAROMAIN

                Judul tersebut diambil dari bait-bait puisi yang ditulis oleh Ahmad Syauqi, seorang ahli Bahasa Arab yang disebut-sebut sebagai Raja Penyair, puisi ini menandakan betapa masjid al-Azhar menempati tempat yang begitu tinggi dan terhormat di Dunia Islam (al-‘Alam al-Islamiy). Terlihat sombong dan berlebihan memang, namun bila kita mau melihat jalan cerita sejarah, dan melihat perkembangan islam di dunia global, maka kita akan melihat kisah fenomenal dari perkembangan sebuah masjid di Benua Afrika yang kemudian berkembang menjadi Institusi Pendidikan Islam terbesar di Dunia Islam yang memiliki cabang di berbagai provinsi di Mesir dan bahkan di berbagai penjuru dunia.

                Bagaimanakah jalan ceritanya Masjid al-Azhar yang kini terkenal dengan menara dengan puncak kembarnya ini kemudian berkembang menjadi Universitas Islam pertama dan tertua yang mampu bertahan dengan kokoh di tengah gelombang globalisasi zaman dengan pemikirannya yang murni sunni dan moderat. Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari Masjid al-Azhar yang antik nan bersejarah ini? Mari kita telusuri jejak-jejak sejarahnya yang begitu menarik!

PONDASI SYI’AH BUATAN DAULAH FATHIMIYAH

                Cerita bermula di kala benih-benih syi’ah yang merupakan pemuja Sayyidina Ali bin Abi Thalib tidak diterima oleh masyarakat islam di Jazirah Arab. Sejarah kemudian mencatat bahwa di masa Daulah Abbasyiyah berkelanalah seorang Punggawa Syi’ah bernama Abu Abdullah asy-Syi’I menuju Afrika bagian utara yang ketika itu sudah ditakhlukkan Daulah Abbasyiah tepatnya di wilayah Maroko sekarang. Abu Abdullah asy-Syi’I kemudian berhasil mempengaruhi masyarakat setempat dengan kemampuan komunikasi yang sedemikian meyakinkan hingga akhirnya dia berhasil menakhlukkan pemerintahan perwakilan Daulah Abbasyiah di daerah tersebut, dan akhirnya dilantik sebagai Amirul Mu’minin, Imam al-Mahdiy, Sang Pemimpin Yang ditunggu-tunggu (910-934M/297-322H).

                Kekuasaan yang baru ini pun dinamakan Daulah Fathimiyah, karena Abu Abdullah asy-Syi’I merupakan keturunan Fatimah az-Zahra, istri sayyidina Ali bin Abi Thalib. Maka muncullah kekuatan politik baru di Dunia Islam yang beraqidah islam syi’ah, terpisah dari Daulah Abbasyiah, dan begitu haus akan kebesaran dan kemakmuran. Berbagai invasi dilakukan oleh Daulah Fathimiyah, Qabilah-Qabilah Arab di Afrika Utara dan suku-suku Barbar berhasil ditakhlukkan dan ditundukkan oleh Daulah Fathimiyah. Bahkan invasi juga dilancarkan ke sekitar laut tengah sampai ditaklukkannya pulau Sicily di selatan Itali. Yang dalam Dunia Islam disebut Shaqliyyah. Invasi juga dilancarkan ke pulau-pulau di sekitar Samudera Atlantik di sebelah barat dari Benua Afrika. Sejak zaman kekuasaan Abu Abdullah asy-Syi’I beberapa pasukan telah dikirim ke Mesir terutama pusat kekuasaannya di Kairo, namun pasukan-pasukan tersebut selalu gagal merebut kekuasaan di negeri itu.

                         Sampai ketika Daulah Fathimiyah dipimpin oleh Khalifah Mu’iz li dinillah (953M/341H), dikirimlah pasukan besar dibawah pimpinan Jauhar as-Shoqli, yang merupakan panglima perang keturunan Itali yang dilahirkan di Shoqli Itali namun telah mendapatkan didikan islam di bawah naungan Daulah Fathimiyah. Panglima Jauhar as-Shoqli inilah yang akhirnya berhasil menaklukkan Mesir.

                       Penaklukkan Mesir dilakukan pada waktu yang tepat, karena Mesir saat itu sedang dalam Chaos setelah meninggalnya Raja Kerajaan Ikhsyidiyah (kerajaan yang didirikan oleh Muhammad bin Thoghij al-Ikhsyidi khalifah perwakilan dari Daulah Abbasyiah). Maka masuklah Mesir ke dalam era baru, era pemerintahan Daulah Fathimiyah. Dan di malam hari setelah penaklukkan Mesir berhasil dilakukan, Jauhar as-Shoqli segera melakukan rencana pembangunan Mesir yang dimulai dengan dibangunnya kota Kairo yang kata aslinya merupakan kata Bahasa Arab “al-Qohiroh”, yang bisa diartikan sebagai  “Penakluk” yang oleh Khalifah Mu’iz li dinillah diproyeksikan sebagai kota masa depan yang akan menaklukkan dunia.

                       Maka selesailah pondasi-pondasi Kairo satu tahun setelah ditaklukkannya Mesir oleh Daulah Fathimiyah (358 H) lengkap dengan pos-pos penting pemerintahannya. Pembangunan Ibu kota baru Daulah Fathimiyah itu kemudian dilanjutkan dengan didirikannya Masjid al-Azhar yang nantinya akan menjadi benteng Syi’ah di Kairo dan pusat pengajaran dan penyebaran ajaran-ajarannya. Sengaja dinamakan “azhar” yang diambil dari kata az-Zahro’, julukan dari Sayyidah Fathimah, yang dari namanya Daulah ini didirikan. Pembangunan Masjid al-Azhar dimulai tahun 359 H, dan akhirnya selesai dan dibuka untuk shalat pertama kali pada Bulan Ramadhan 361 H yang bertepatan dengan Juni-Juli  972 Masehi.

Gontor 2, Penampungan Anak-anak Kesepian

Gontor 2, Penampungan Anak-anak Kesepian

Masjid Gontor 2, Ponorogo
Setelah lulus dari Madrasah Tsanawiyah Pembangunan aku dibawa oleh orang tuaku ke Gontor 2. Gontor 2 berlokasi tidak jauh dari Gontor 1, masih di Kab. Ponorogo, dan hanya berbeda desa. Semua yang datang ke Gontor 2 adalah calon pelajar. Mereka datang dari berbagai daerah di Dunia. Kebanyakan dari Pulau Jawa. Sebagian lagi dari Kalimantan, Sumatera, Papua, Sulawesi, dan beberapa dari negeri seberang, Malaysia.

Gontor 2 adalah penampungan tempat para calon pelajar dipersiapkan untuk menghadapi ujian masuk Gontor. Saya pribadi melihat komunitas santri di Gontor 2 terbagi menjadi dua, anak-anak lulusan SD dan anak-anak lulusan SMP ke atas. Yang saya maksud ke atas adalah termasuk SMA, MA, dan Kuliah.

Bagiku pribadi, sulit dan beratnya perpisahan dengan orang tua dalam hidupku adalah saat aku masuk ke Pondok Modern Gontor 2 ini. Aku meratapi diriku sendiri yang ditinggal oleh mobil keluargaku. Kakekku, Bapak dan Ibuku, ikut mengantarku ke Pondok ini.

Saya yakin banyak kesan dirasakan oleh semua alumni gontor atau siapa pun yang pernah merasakan pendidikan di Gontor 2. Di Gontor 2 inilah aku mulai belajar untuk hidup sendiri, jauh dari orang tua. Mengurus keuangan sendiri, mencuci, dan bersosialisasi.

Gontor 2 membimbing kami menghadapi 4 mata pelajaran yang diujikan dalam ujian masuk Gontor. Membaca al-Qur'an, Menulis Arab, Berhitung, dan Bahasa Indonesia. Aku melalui dengan cukup lancar dan hampir tidak ada kesulitan.

di Gontor 2 aku bertemu dengan berbagai macam karakter yang baru dalam hidupku. Ustadz-ustadz yang seluruhnya masih muda dan bersemangat. Kawan-kawan yang unik. Ada Irfan Fadli dari Blitar yang suaranya besar dan berbadan bongsor. Ada Cipto dari Banten yang selalu terlihat kalem dan sabar. Ada Anggarda yang selalu membawa tas ajaibnya, berisikan peralatan mandi dan perlengkapan sholat, sehingga dia tidak perlu mondar-mandir kelas-asrama-masjid setiap selesai sekolah pagi. Aku sendiri masih takut-takut dan pemalu waktu itu. Namun apa pun yang terjadi sosialisasi adalah juga merupakan suatu kebutuhan bagi kita untuk bertahan hidup, termasuk bagiku, yang jarang keluar ciputat dan belum pernah mencuci baju sendiri.

Saat itu kita tidak pernah tahu, akan seperti apa kita nanti, 3, 4, sampai 5 tahun ke depan. Gontor memang merupakan suatu sistem pendidikan yang menurut saya pribadi begitu kompleks. Karena kawan-kawanku yang sekamar di Gontor 2 dulu ada yang lulus lancar, ada yang tidak naik kelas, dan bahkan ada yang masih menjadi santri tatkala aku sudah mengajar. Kita harus menyadari, disamakan seperti apa pun lingkungannya, nasib orang memang berbeda-beda.

 Setelah 3 bulan, aku kemudian dikumpulkan bersama ribuan santri lainnya dalam upacara pengumuman kelulusan. Saat itulah aku melihat langsung sosok-sosok Kyai yang mengawal perkembangan Gontor saat itu. Pak KH. Imam Badri, Pak KH Abdullah Syukri, dan Pak KH. Hasan Abdullah. Sosok-sosok yang simpel, namun begitu jelas dalam berbicara, mereka memotivasi kami untuk ikhlas dan sabar dalam menjalani pendidikan ini.

Dan ketika pengumuman dibacakan, kami hanya mendengar, "Lulus Gontor 1, nomor ujian: 1, 3, 5".... dan seterusnya. Pengumuman itu seperti panggilan menuju akhirat, di mana-mana terdengar suara "Alhamdulillah...", dan di pojok pojok aku melihat beberapa santri menangis, sebagian bersujud syukur di karpet yang sudah disediakan panitia, sebagian lagi terduduk menunduk di atas kursi kayu yang sama-sama kami duduki.

Aku sendiri akhirnya lulus di Gontor 1, Gontor Pusat. Aku tidak terlalu berharap dan tidak terlalu pesimis, dan tidak bisa terlalu senang karena melihat beberapa kawanku sedang bersedih. Itulah Gontor 2 dengan berbagai kisahnya, bagiku pribadi Gontor 2 begitu sepi padahal dihuni oleh sekitar 2000 santri. Sepi karena bagi kita umat manusia, dunia memang terasa sangat sepi tanpa keluarga, tanpa orang tua. Namun Gontor 2 memang penting bagi para santri untuk beradaptasi secara akademis, mental, dan disiplin.

Target dan Harapan

2 Hari Seminggu Senin-Kamis
Kegiatan Mingguan
20 Halaman Murojaah
Target Harian
1000 Kebaikan
Target kebaikan harian

Pendidikan

PM Gontor
2008
Muhammad
Nabi
Robert T Kiyosaki
Penulis
Will Peters
Developer

Contact

Talk to us

Anda dapat menghubungi Mohammad Izdiyan Muttaqin melalui beberapa cara berikut.

Address:

DD Ross Village 1 Blok E5 Jl. Tanjung, Rt 04 Rw 05 Padurenan, Kec. Gn. Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16340

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 4pm

Phone:

+6281311448187

Flickr Images